Masyarakat Minang Harapkan Siti Manggopoh Jadi Pahlawan Nasional

0
239

Penabanten.com, Jakarta – Meski 10 November 2021 Mandeh Siti Manggopoh belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pemerintah RI, perempuan Minang legendaris itu tetap layak. Itu sebabnya, dalam waktu dekat generasi muda Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat di Jakarta ¹1segera akan berkumpul untuk mendalami lebih jauh.

Ketua Umum Ikatan Keluarga Srikandi Manggopoh (IKSM), Mukti Ali, S.H., M.Kn kepada media, Sabtu (13/11/21) di Jakarta, menyatakan, Siti Manggopoh sebagai pejuang perempuan Minang, bukan cuma cerita-cerita kosong.

“Fakta sejarah yang hidup di masyarakat dan terbukukan, tak terbantahkan lagi. Undang-undang dan persyaratan pun sudah terpenuhi. Mungkin masih ada kekurangan saja,” kata Mukti Ali.

Mukti mendapat informasi, Pemerintah RI cq. Kementrian terkait sudah dua kali meminta dilakukan revisi atas usulan Siti Manggopoh menjadi Pahlawan Nasional asal Minangkabau itu kepada Pemda. Usulan masyarakat agar Siti menjadi Pahlawan Naional telah disampaikan oleh Pemkab Agam melalui Pemprov Sumbar.

Hal-hal yang dikumpulkan para ahli dan diusulkan oleh pihak Pemkab Agam melalui Pemrov Sumbar, kata Mukti Ali, adalah fakta sejarah. Untuk itu, lanjutnya, kita generasi muda Manggopoh dirantau dituntut memberi andil, dengan cara mepelajari i hal-hal yang mungkin tinggal bersifat normatif-administratif saja.

“Maka, dalam waktu dekat kita generasi muda Manggopoh di rantau akan berkumpul membahas untuk mendalaminya,” kata anak muda yang bersama rekan-rekannya kini berkiprah di firma hukum “Sago MGP & Partners” di Cikokol, Kota Tangerang, Banten.

Diketahui, pada 10 November 2021, RI melalui Presiden Jokowi menetapkan lagi empat nama Pahlawan Nasional. Keempatnya adalah Bapak perfilman nasional, Usmar Ismail (DKI Jakarta), Raden Aria Wangsakarta (Banten), Tombolotutu ( Sulawesi Tengah), dan Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur.

Penetapan tersebut tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 109/TK/Tahun 2021 yang ditetapkan pada 25 Oktober 2021 (setkab.go.id, 10/11/21). Dengan demikian, kini Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, setidaknya ada 195 orang.

SYARAT DIUSULKAN
Sebagaimana dilansir Tempo (2 November 2021, 15:00 WIB), Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pasal 25 dan Pasal 26 menyebutkan, mereka yang berhak diajukan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari negara, yaitu:


Syarat Umum
• WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI;
• Memiliki integritas moral dan keteladanan;
• Berjasa terhadap bangsa dan Negara;’
• Berkelakuan baik;
• Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan Negara; dan
• Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

Syarat Khusus:
• Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
• Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;
• Mengabdi dan berjuang hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
• Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
• Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
• Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Nama calon Pahlawan Nasional tersebut dapat diajukan oleh masyarakat umum dan akan melalui tahap pertimbangan oleh Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

TENTANG SITI MNGGOPOH
Nagari adalah khas Minangkabau Sumatera Barat –setara dengan kelurahan/ desa di belahan lain Indonesia. Nagari Manggopoh termasuk dalam Wilayah Kecamatan Lubukbasung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumbar.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, saat kolonial Belanda menjajah hingga ke Tanah Minangkabau (Sumatera Tengah, waktu itu), hiduplah perempuan Siti di Manggopoh. Ia diperkirakan lahir pada 1880. Tak ada rujukan pasti tentang ketepatan kapan ia dilahirkan. Ia akrab disapa Mande (Ibu) sehingga dirangkai menjadi Mandeh Siti

Lantaran keberanian dan kegigihannya menghadapi penjajah Belanda yang semena-mena di Manggopoh, nama Siti pun menjadi bahan pembicaraan masyarakat dengan sebutan Siti Manggopoh.

Masyarakat melekatkan julukan “Singa Betina” dari Ranah Minang pada Mandeh Siti. Di mata rakyat kala itu, ia perempuan yang tak pernah diam. Apalagi, ketika ia tahu rakyat dan daerahnya diperlakukan semena-mena oleh kolonial.

Dalam Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, Mulyono Atmosiswartoputra menceriterakan, awal mula kemarahan Mande Siti. Ia marah besar ketika tahu Peraturan Pajak di tanah Minangkabau pada awal Maret 1908, diganti menjadi Peraturan Tanam Paksa oleh kolonial Belanda, yang sangat membebani rakyat (liputan6.com, 09/11/21, 05.00 WIB).

Bangkit amarah da tak tertahankan lagi lantaran merasa harga dirinya diinjak-injak, terkait peraturan belasting itu, yang mengenakan pajak tanah. Padahal, tanah-tanah di Manggopoh, sebenarya sudah dimiliki oleh rakyat secara turun-temurun. Di tempat lain, seperti di Kamang, Bukittinggi pun terjadi hal serupa.

Pemberontakan rakyat bermula dari kesemena-menaan Belanda memberlakukan pajak atas tanah rakyat (blasting). Pemberontak yang dimulai dari Kamang, tak terelakkan menjalar ke Manggopoh. Mandeh Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk Badan Perjuangan (BP) yang diisi oleh 14 orang setempat.

Selain Siti, di dalam BP ada sang suami, Rasyid (suami Siti), Majo Ali, dan St. Marajo Dullah. Selain itu juga sejumlah nama seperti Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.

Perang Manggopoh pecah pada 16 Juni 1908, bersamaan dengan Perang Kamang yang dikenal juga sebagai “Perang Belasting”. Dalam sejarah tanah Minang, setidaknya tercatat, Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, yang menjadi titik dimulainya perjuangan.

Disebutkan, dalam suatu penyerangan, Siti menjadikan dirinya sebagai umpan ketika menyusup ke markas Belanda. Saat itu, puluhan orang Belanda sedang mengadakan perjamuan.

Siti yang menyusup ke dalam. Kemudian diam-diam ia padamkan lampu. Setelah ia memberi tanda kepada para pejuang yang sudah siaga di luar, para pejuang menyerang. Selanjutnya, terjadilah peristiwa tak terlupakan dalam sejarah Minang itu.

Luar biasanya, dalam penyerbuan tersebut, tak seorang pun pejuang yang gugur. Bahkan, mereka berhasil membunuh 53 dari 55 serdadu Belanda. Dua serdadu Belanda yang megalami luka serius berhasil meloloskan diri ke Lubuk Basung (kini Ibu Kota Kab. Agam).

Perang kedua terjadi saat kedua antek Belanda yang kabur itu, kembali dengan bantuan tentara Belanda dari Bukittinggi dan Padang Pariaman. Dalam insiden 16 Juni 1908 ini, tentara kolonial Belanda memorak-porandakan Manggopoh.

Tak sedikit warga yang menjadi sasaran kekejaman Belanda. Seluruh pejuang yang melakukan perlawanan saat itu, tewas. Ada yang menyebut, saat itu jumlah lima orang (Tuanku Cik Padang, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad, dan Kana). Tetapi, ada juga yang menyebut hanya tiga orang (Tuanku Cik Padang, Kana, dan Unik).

Mendengar daerahnya dikacau oleh pasukan kolonial Belanda, Siti Manggopoh tak tinggal diam. Ia memutuskan untuk tetap melanjutkan ikut perang, meski terpaksa harus meninggalkan anak perempuannya (Dalima) yang masih kecil, di rumah.

Begitupun, naluri keibuannya tak bisa hilang begitu saja. Saat usai melakukan penyerangan, Siti Manggopoh pulang ke rumah. Dalima pun di bawa masuk ke hutan dan dirawatnya sendiri. Saat itu, itulah tentara Belanda menangkapnya, kemudian membawanya ke Lubuk Basung

Catatan sejarah juga menyebutkan, Siti menjalani masa di penjara kolonial selama 14 bulan Lubuk Basung. Kemudian, ia dipindah ke Penjara Kota Padang dan mendekam selama 12 bulan di sana.

Ia kemudian dibebaskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan alasan anaknya masih kecil. Mande Siti meninggal 20 Agustus 1965 dan dimakamkan di Makam Pejuang Manggopoh. **

Tinggalkan Balasan