Penabanten.com, Serang – Sebagai negara hukum (rechtstaat) Indonesia sedang dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat di ibaratkan seperti dua pulau yang saling terpisah, tidak saling mendekat.
Kondisi itu tentu saja bersebrangan dengan arti dari hukum itu sendiri. Dimana hukum itu dilahirkan bukan hanya sebagai dasar peraturan yang berupa norma dan sanksi untuk mengatur tingkah laku manusia serta menjaga ketertiban, melainkan lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Keadilan hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat kecil atau biasa di sebut miskin di negri ini adalah sesuatu barang yang mewah. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Sementara, sementara masyarakat kecil dengan kelemahannya sangat sulit untuk medapatkan akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerapkali menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil.
Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah. Menunjukan sistem dan praktik hukum kita bermasalah. Menurut Arohman Ali (A.A), hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) semakin memburuk. Supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi.
Jelas diatur dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28D ayat I yang berbunyi : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namun dalam praktik nya, masyarakat kecil atau miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses keadilan hukum. Akses tersebut dimaksud jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan diluar maupun didalam pengadilan.
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut dari sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. Aturan normatif tersebut tak seindah praktik di lapangan, proses menegakan hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan hukum, justru melahirkan ketidakadilan hukum. Sementara kelompok masyarakat yang paling rentan dan sering menjadi korban ketidakadilan hukum ini adalah masyarakat yang masuk dalam kategori lemah dan miskin. Sebaliknya proses penegakan hukum lebih cenderung berpihak pada kelompok kecil masyarakat yang memiliki akses dan kekuatan ekonomi serta politik kekuasaan.
Dalam perkara pidana memiliki sanksi kurungan dan denda. Penerapan sanksi denda terhadap kasusnya akan memperberat terdakwa miskin yang tidak mampu membayarnya. Salah satu contoh dalam kasus Nenek Asyani, Ia divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan karena ia mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur (Liputan 6, “Nenek Asyani Terdakwa Pencuri Kayu Divonis 1 Tahun Penjara”, 23 April 2015). Dalam hal ini perbedaan ekonomi sosial menimbulkan ketidakadilan bagi si miskin di dalam sistem pengadilan maupun di dalam sistem ekonomi.
Sementara nasib pejabat dan koruptor berdasi yang nilai sebanding dengan jutaan batang kayu jati di perlakukan dengan terhormat oleh aparat. mereka dapat melenggang bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Menurut data ICW putusan bagi terdakwa kasus tindak pidana korupsi pada 2018. 79 persen terdakwa korupsi divonis ringan dengan putusan 1 sampai 4 tahun penjara. (detiknews.com, 79 Persen Terdakwa Korupsi Divonis Ringan Oleh Pengadilan. Minggu, 28 April 2019).
Penulis : AROHMAN ALI (Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum PAINAN BANTEN)