Penabanten.com, Pandeglang – Publik dibuat terperangah! Di hadapan awak media dan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Pandeglang, pihak RSUD Aulia mengakui terang-terangan bahwa pasien menerima bukti pembayaran berupa kwitansi tanpa stempel dan tanda tangan resmi rumah sakit. Lebih parah lagi, kejanggalan ini coba ditutupi dengan dalih sederhana: “human error.”
Kwitansi asli pun ditunjukkan di depan media dan pejabat terkait, memperlihatkan betapa lemahnya kontrol manajemen di rumah sakit milik pemerintah daerah tersebut. Namun yang paling mengejutkan, Kadinkes Pandeglang memilih diam seribu bahasa. Tidak ada pernyataan tegas, tidak ada langkah cepat, seolah-olah persoalan yang merugikan rakyat kecil ini bukanlah hal penting.
Padahal aturan jelas sudah bicara. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 huruf (g), mengatur hak pasien untuk menerima bukti transaksi resmi. Bahkan Pasal 59 UU Rumah Sakit menegaskan, pelanggaran kewajiban dapat berujung pada sanksi administratif berat, mulai dari teguran, pembatasan kegiatan, hingga pencabutan izin operasional rumah sakit.
Tak berhenti di situ. Dari sisi kepesertaan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS juga menegaskan rumah sakit dilarang mengalihkan pasien BPJS ke jalur umum kecuali karena alasan medis yang sah. Jika melanggar, konsekuensinya bisa berupa sanksi administratif sampai pemutusan kerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Ironisnya, bukti sudah gamblang di depan mata, tapi Kadinkes Pandeglang justru diam. Ada apa dengan Kadinkes Pandeglang? Mengapa bungkam di tengah fakta yang mencoreng wajah pelayanan kesehatan ini?
Kebungkaman Kadinkes memantik gelombang protes keras dari sejumlah organisasi wartawan yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Wartawan Indonesia (GOWI) — yang terdiri dari Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI), Media Online Indonesia (MOI), serta Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) DPC Kabupaten Pandeglang. Mereka memastikan akan menggelar konferensi pers lanjutan dengan menyasar Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Jumat (03/10/2025).
Raeynold Kurniawan, Ketua GWI DPC Kabupaten Pandeglang, menilai alasan human error hanyalah tameng untuk menutupi bobroknya sistem.
“Kalau alasan ‘human error’ yang dipakai, bagaimana mungkin kwitansi tanpa stempel dan tanda tangan bisa lolos ke pasien? Ini jelas bukan kesalahan teknis, tapi cerminan lemahnya pengawasan. Kadinkes jangan hanya jadi penonton,” tegas Raeynold.
H. Imron, pengurus MOI DPC Kabupaten Pandeglang, menambahkan bahwa hal ini merupakan penghinaan terhadap hak rakyat kecil.
“Pasien BPJS yang harusnya gratis justru dibebani biaya dan diberi kwitansi ilegal. Lalu dikatakan human error? Itu jelas mempermainkan rakyat. Kalau Kadinkes terus diam, jangan salahkan bila kami nilai ada pembiaran terstruktur,” ujarnya.
Sementara itu, Jaka Somantri, Sekjen AWDI DPC Kabupaten Pandeglang, menegaskan perlunya campur tangan otoritas di tingkat provinsi.
“Bukti sudah ditunjukkan di depan publik. Kalau Kadinkes tetap tutup mata, kami mendesak Dinkes Provinsi Banten turun tangan. Bahkan evaluasi Kadinkes Pandeglang perlu dipertimbangkan,” kata Jaka.
Gelombang tekanan dari GOWI dipastikan akan semakin menguat. Publik pun kini hanya punya satu pertanyaan besar: Apakah Kadinkes Pandeglang melindungi kepentingan rakyat, atau justru ada sesuatu yang disembunyikan?”(Ron-red)