penabanten.com, Lebak – Layanan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Adjidarmo Rangkasbitung Kabupaten Lebak konon sarat intrik penggiringan, yang ditengarai setiap pasien kritis dijustifikasi corona untuk menyerap dana covid 19 bagi pasien meninggal dunia. Pasalnya, hal ini terjadi pada pasien Itim warga Desa Cisimeut Kabupaten Lebak, yang mana pasien sebelumnya mengalami kritis akibat luka dikakinya tertimpa alat memasak.
Ditegaskan Bangbang SP seorang anggota DPRD Lebak menuturkan, pada pekan September lalu, ibunya kembali mengalami kritis sepulang dirawat dari RS Misi Lebak. Dalam kondisi itu, atas saran perawat yang mengurus ibundanya dikediamannya, di Desa Cikatapis, Kecamatan Kalanganyar, Itim akhirnya dibawa ke RSUD Adjidarmo, kemudian dimasukan ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Adjidarmo, setelah sebelumnya di Rafid tes Covid-19 dengan hasil negatif.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Memang ibu Saya ada gejala penyakit gula. Namun dari Rafid tes beliau dinyatakan negatif dari virus covid 19,” katanya, pada penabanten.com, Kamis (1/1O/2020).
Lanjut Bangbang, yang ironisnya lagi selepas ibunya dirawat dari IGD, ketika dalam kondisi kritis, pasien justru bukan dirawat diruang umum. Akan tetapi malah dimasukan ke ruang zona merah, yang mana ruang itu dikhususkan bagi pasien Covid-19. Saat itu, seorang dokter paru yang menangani ibundanya, malah menyatakan jika pasien nengalami pembengkakan paru-paru dan diindikasikan Covid-19.
“Saat itu, Saya menolak dan keberatan jika ibu Saya dalam kondisi kritis, tiba-tiba di vonis diindikasikan tertular corona. Jujur Saya mencium ada ketidakberesan dari layanan medis tersebut. Karenanya, dihari Senin September lalu, Saya langsung konsultasi dengan Direktur RSUD Adjidarmo Dr. Anik, bahkan saya terang-terangan menolak jika ibu Saya di vonis terindikasi corona, bahkan formulir tandatangan kesediaan keluarga, terkait isolasi pasien tidak Saya tandatangani,” tegasnya.
Merasa gagal formulir surat pernyataan kesediaan isolasi pasien tidak ditandatangani dirinya. Diduga tim medis RSUD justru membujuk sang adiknya untuk mau menandatangani hal itu, sehingga dalam kondisi panik dan dibawah tekanan, akhirnya dengan segala keterpaksaan, adiknya pun menandatangani formulir tersebut.
“Pasca formulir kesediaan isolasi fasien ditandatangani adik Saya. Kini ibu Saya berada diruang isolasi. Ironisnya, kondisi ruang isolasi itu sangat memprihatinkan, pertanyaan Saya bagaimana dengan kondisi ibu saya yang tengah kritis saat ini. Tanpa perawatan ICU dan didiamkan diruang isolasi,” tutunya.
Sambung Bambang, untuk itu dirinya bertekad akan melawan indikasi kesewenang-wenangan pihak RSUD Adjidarmo, dengan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Sebab dirinya mencium ada aroma pemanfaatan dana covid ratusan juta rupiah, dengan modus memasukan setiap pasien kritis kedalam layanan fasien covid 19.
“Pastinya, pasien dalam kondisi kritis, kemudian disimpan diruang isolasi tanpa perawatan ICU. Maka dipastikan pasien tidak tertolong dan meninggal, lalu jika pasien yang di cap Covid-19 itu meninggal. Secara otomatis dana covid yang konon bernilai ratusan juta rupiah bisa diserap RSUD,” jelasnya.
Meresfon hal itu, Budi wakil direktur RSUD Adjidarmo Rangkasbitung, menyangkal ada mafia yang menggiring setiap pasien kritis untuk di vonis covid. Intinya, pihak RSUD Adjidarmo, senantiasa coba melayani pasien sebaik mungkin. Menurutnya, kalaupun ada ketidak puasan dari pihak pasien itu hal wajar.
“Soal puas dan tidak puas atas layanan rumah sakit. Kami rasa itu hal yang relatif. Sebab bagaimanapun, itu bagian dari bhakti seorang anak atau keluarga atas orang tuanya. Intinya, Kami coba melakukan yang terbaik untuk setiap pasien. Masalahnya, RSUD Adjidarmo bukan RS berstandar layanan Covid-19, sehingga akan terdapat segala kekurangannya,” ungkapnya. (Yans)