Penabanten.com, Cilegon – Tim Bidang Hukum Polda Banten menyosialisasikan Undang-Undang tentang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, di SMAN 1 Kota Cilegon, Selasa (26/2/2019).
Siswa-siswi SMAN 1 Kota Cilegon nampak antusias dengan adanya penyuluhan hukum dari tim Bidang Hukum Polda Banten.
Selain disambut siswa, kegiatan penyuluhan hukum juga disambut baik dan dibuka langsung oleh Kepala SMAN 1 Cilegon yang diwakili Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) SMAN 1 Kota Cilegon, Achyadi, S.Pd.
Dalam kesempatan itu, Ipda Tarsico, SH. MH didaulat sebagai pemateri. Materi yang ia paparkan yakni tentang “Body Shaming”.
Secara sederhana, menurutnya, body shaming merupakan bentuk dari tindakan mengejek atau menghina dengan mengomentari fisik (bentuk maupun ukuran tubuh) dan penampilan seseorang.
“Sanksi pidana bagi netizen atau warganet yang berkomentar Body Shaming,” jelas Tarsico, di hadapan siswa-siswi.
Pada dasarnya, lanjut Tarsico, penghinaan yang dilakukan melalui media sosial merupakan tindak pidana dan pelakunya dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
Seperti terkandung di dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
“Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta,” terang Tarsico.
“Ketentuan ini merupakan delik aduan,” tambahnya.
Tarsico menuturkan, relevansi body shaming sebagai penghinaan, dapat merujuk pada pasal penghinaan ringan berdasarkan pasal 315 KUHP, yang berbunyi tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
“Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina,” tuturnya.
Tarsico menyebutkan, jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misal dengan melontarkan kata-kata “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan penghinaan ringan.
“Agar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ),” imbuhnya.
Baca Juga : Tingkatkan Kemampuan, Personel Polda Banten Dibekali Ilmu Jurnalis
Dikatakan Tarsico, apabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum pertama, dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina tersebut harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri. Kedua, bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina.
“Penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia,” katanya.
Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.
“Jadi komentar body shaming di sosial media dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan jika komentar tersebut berupa makian yang bersifat menghina,” ucap Tarsico.
Apakah komentar berbau body shaming dapat dipidana dengan pasal penghinaan?
Bisa, sebut Tarsico, apabila korban merasa terhina dan melakukan aduan serta pelaku memenuhi seluruh unsur pidana dan telah melalui proses peradilan pidana. Tindakan yang Dapat Dilakukan Korban Penghinaan di media sosial, yakni pengaduan oleh korban penghinaan di media sosial dapat dilakukan melalui layanan aduan konten Kementerian Komunikasi dan Informatika .
“Di samping itu, secara hukum, seseorang yang merasa dihina dapat melakukan upaya pengaduan kepada aparat penegak hukum setempat,” ujar Tarsico.
Adapun dasar hukumnya, tambah Tarsico, diantaranya pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kedua, Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan terakhir, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Diharapkan siswa-siswi pelajar SMAN 1 Kota Cilegon agar memahami, menambah pengetahuan dan wawasan tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik,” harapnya.
“Kemduian, tentang dampak positif dan negatif internet, dengan adanya perkembangan teknologi, berharap siswa siswi SMA Negeri 1 Cilegon agar bijaklah saat online, dan berpikirlah saat posting,” pesan Tarsico mengakhiri pemaparannya.
Sumber : BidHumas