Penabanten.com – Benda sitaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, walaupun semua aturan yang ada tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai benda sitaan secara implisit (tersirat) ataupun secara nyata.
Walaupun demikian perlu diberi batasan bahwa benda sitaan yaitu benda yang bergerak atau benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diambil alih atau disimpan dalam penguasaan penyidik untuk kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan atau dengan kata lain yang dimaksud dengan benda sitaan adalah barang atau benda sitaan hasil dari suatu penyitaan.
Benda sitaan menurut kamus bahasa Indonesia adalah benda adalah harta atau barang yang berharga dan segala sesuatu yang berwujud atau berjasad. Sitaan berarti perihal mengambil dan menahan barang-barang sebagiannya yang dilakukan menurut putusan hakim atau oleh polisi.
Pengertian benda sitaan erat sekali kaitannya dengan barang bukti karena benda sitaan adalah barang bukti dari suatu perkara pidana yang disita oleh aparat penegak hukum yang berwenang guna kepentingan pembuktian di sidang pengadilan.
Benda sitaan sebagai barang bukti menurut pemeliharaan yang tidak terpisahkan dengan proses itu sendiri, status benda sitaan pada dasarnya tidak berbeda dengan status seorang tersangka selama belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka benda sitaan masih merupakan milik tersangka atau mereka yang sedang berperkara.
Sehingga benda sitaan harus dilindungi baik terhadap kerusakan maupun terhadap penggunaan tanpa hak. Benda sitaan untuk keperluan proses peradilan barang sitaan yang dalam ketentuan acara pidana juga disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1 butir 4 PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Benda Sitaan menjadi bagian Pemasukan Non Pajak Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tanggal 7 Juli 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yakni menjelaskan poin-poin jenis jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kejaksaan Agung, di antaranya adalah sebagai berikut:
Penerimaan dari penjualan barang rampasan.
Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan.
Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi.
Penerimaan biaya perkara. 5. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang
Bukti yang tidak diambil oleh temuan dan hasil penjualan barang.
Penerimaan denda.
Proses awal penyitaan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan pada surat izin Ketua Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP.
Dalam Ayat (2) menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Karakteristik Barang Bukti
Istilah barang bukti dalam bahasa Belanda berarti “bewijsgoed” baik dalam wetboek van strafrecht voor Indonesia, maupun dalam Het Herziene Inlandsch Reglemen dan dalam peraturan perundang undangan lainya.
Barang bukti dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan sebagai alat bukti terutama alat bukti seperti yang disebutkan dalam keterangan saksi atau keterangan terdakwa. Menurut Kamus Hukum Andi Hamzah, istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang.
Termasuk juga barang bukti atau hasil delik. Menurut KUHAP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah adalah tercantum dalam Pasal 184 ayat (1).
Persoalan yang terpenting dari setiap proses pidana adalah mengenai pembuktian, karena dari jawaban atas persoala