Penabanten.com, Reformasi perizinan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja telah membawa perubahan fundamental dengan menghapus izin lingkungan. Izin ini, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 36–40 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berfungsi sebagai izin mandiri dengan kewenangan pencabutan langsung jika terjadi pelanggaran.
Izin Lingkungan: Fondasi Pengawasan yang Tergusur
Sebagai fondasi kuat pengawasan negara, izin lingkungan memungkinkan tindakan cepat terhadap pelaku usaha yang tidak mematuhi AMDAL maupun UKL-UPL. Namun, setelah pemberlakuan PP No. 22 Tahun 2021 dan PP No. 5 Tahun 2021 (tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko), izin lingkungan digantikan oleh persetujuan lingkungan.
Saat ini, persetujuan lingkungan hanya menjadi dokumen administratif dalam proses perizinan berusaha dan, yang paling krusial, tidak dapat dicabut secara mandiri.
Dampak: Strict Liability Kehilangan Landasan Administratif,
Perubahan dasar hukum ini menimbulkan dampak besar, terutama terhadap penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang masih diatur dalam Pasal 88 UUPPLH.
ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun norma strict liability masih berlaku, hilangnya izin lingkungan sebagai instrumen pengawasan substantif menyebabkan prinsip ini kehilangan landasan administratif yang sebelumnya mempermudah pembuktian tanggung jawab.
Kini, pelaku usaha berpotensi berlindung di balik persetujuan lingkungan yang bersifat administratif dan tidak sepenuhnya mencerminkan kesiapan teknis mereka dalam mengelola dampak lingkungan.
Studi Kasus: Lemahnya struktur hukum baru ini terlihat pada kasus pencemaran radioaktif Cesium-137 di Cikande. Pengawasan negara gagal mendeteksi dini, dan proses penelusuran tanggung jawab tersendat karena persetujuan lingkungan tidak memberikan kewenangan pencabutan operasional secara langsung.
Mendesak: Pemulihan Kewenangan Pencabutan Langsung.
Melihat dinamika negatif tersebut, revisi regulasi perizinan lingkungan mendesak untuk dilakukan.
Pemerintah harus:
Memperkuat Fungsi Substantif: Segera merevisi PP 22/2021 dan PP 5/2021 untuk memperkuat kembali fungsi substantif persetujuan lingkungan.
Memulihkan Kewenangan Pencabutan: Kewenangan pencabutan langsung perlu dipulihkan sebagai bagian esensial dari asas kehati-hatian dan pencegahan kerusakan lingkungan.
DPR juga didorong untuk mempertimbangkan revisi terbatas terhadap ketentuan UU Cipta Kerja yang menghapus izin lingkungan. Tujuannya adalah mengembalikan keseimbangan (check and balance) dalam pengawasan lingkungan.
Penutup:
Prinsip strict liability harus ditegakkan secara konsisten demi menjamin perlindungan lingkungan hidup dan menjaga keselamatan masyarakat. Penyederhanaan birokrasi tidak boleh mengorbankan benteng utama perlindungan ekologis yang merupakan inti dari hukum lingkungan di Indonesia.















