Gambar Ilustrasi
Penabanten.com, Kab. Serang – Penanganan darurat sampah di Desa Bolang, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Serang, yang telah berlangsung lebih dari dua tahun menemui jalan buntu. Pernyataan terbaru Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang yang mengaku “masih mencari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)” menuai sorotan tajam. Pasalnya, jawaban klise ini dinilai hanya menunjukkan kegagalan manajerial dan lemahnya kemauan politik, alih-alih ketiadaan lahan.
Pernyataan DLH Kabupaten Serang yang seolah tak pernah berubah selama dua tahun terakhir telah menimbulkan kebingungan publik. Alih-alih memberi solusi konkret, jawaban “masih mencari lokasi” justru dinilai menunjukkan lemahnya sense of crisis (kepekaan terhadap krisis) dan buruknya koordinasi antarinstansi dalam menangani masalah lingkungan yang sudah akut.
ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga Desa Bolang, yang paling terdampak, sudah jenuh dengan janji pemerintah. “Kami sudah bosan. Dari dulu katanya mau dibangun TPA baru, tapi nggak pernah terjadi apa-apa. Pemerintah cuma datang ambil foto, habis itu hilang,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya, Kamis (13/11/2025).
Selama dua tahun terakhir, warga terpaksa hidup berdampingan dengan bau busuk dan tumpukan sampah. Beberapa warga bahkan terpaksa membakar sampah sendiri karena tidak tahan menunggu tindakan pemerintah, yang ironisnya menciptakan masalah polusi baru.r
Kritik tajam datang dari Ketua Forum Jurnalis Lingkungan (IJL), Nusi. Menurutnya, alasan klasik “mencari lokasi” atau “penolakan warga” tidak bisa lagi dijadikan pembenar atas kelambanan DLH.
Nusi menyebutkan bahwa sejumlah lahan potensial sebenarnya sudah pernah diusulkan dan ditinjau sejak beberapa tahun lalu. Namun, proyek pengelolaan sampah itu berulang kali mandek tanpa kejelasan alokasi anggaran dan keputusan politik di tingkat kabupaten.
“Masalahnya bukan tidak ada lahan, tapi tidak ada keberanian ambil keputusan. Semua dilempar ke kabupaten lain, seolah Serang tidak punya wilayah sendiri,” ujar Nusi dengan tegas.
Ia juga menyoroti sikap DLH yang seolah “cuci tangan”. Beberapa lokasi pembuangan alternatif, lanjutnya, bahkan sudah sempat dibahas bersama Pemkab tetangga, tapi tidak ada langkah tindak lanjut konkret dari pihak DLH Serang sendiri.
Investigasi menemukan adanya kejanggalan dalam klaim DLH. Jika benar DLH menyalahkan penolakan warga, seharusnya ada keterbukaan data, peta lokasi alternatif, hingga hasil studi kelayakan (Feasibility Study) yang dipublikasikan secara terbuka ke publik. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan.
Selain itu, jika benar DLH telah melakukan koordinasi lintas kabupaten seperti dengan Cilegon, Pandeglang, dan Lebak, seharusnya ada dokumen resmi atau Memorandum of Understanding (MoU) awal yang bisa ditunjukkan sebagai bukti keseriusan. Hingga kini, tidak ada bukti konkret yang disampaikan.
“Jika dua tahun hanya dihabiskan untuk ‘mencari lokasi’, maka ini bukan lagi soal teknis. Ini soal kegagalan manajerial dan minimnya tanggung jawab,” pungkas Nusi.
”Warga tidak butuh rencana dua tahun ke depan. Mereka butuh bukti sekarang. Karena kalau sampah saja tidak bisa diurus, bagaimana mau bicara soal pembangunan berkelanjutan?”















