Sidang Kisruh Komisaris dan Direksi PT Kahayan Karyacon, Pengacara: Tak Ada Saksi yang Melihat dan Mendengar Perbuatan Terdakwa

0
96

Penabanten.com, Serang — Sidang kasus kisruh Komisaris dan Direktur PT Kahayan Karyacon kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Jalan Raya Pandeglang KM 6, Tembong, Cipocok Jaya, Tembong, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten, Kamis, 04 Februari 2021.

Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Erwantoni didampingi Hakim Anggota Diah Tri Lestari dan Ali Mudirat.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Budi Atmoko, dan Kuasa Hukum Terdakwa Endang Sri Fhayanti dan Dolfie Rompas.

Dalam sidang terdakwa Leo Handoko selaku Direktur PT Kahayan Karyacon, JPU menghadirkan sejumlah saksi, yakni Saksi Ahli dan Saksi Fakta dalam persidangan ini.

Saksi ahli diantaranya Saksi Ahli Hukum Pidana Dian Adriawan, Saksi Ahli Kenotariatan Gunawan, dan Saksi Ahli Ekonomi Bisnis Muhamad Arminal. Sementara Saksi Fakta, yaitu Ery Biyaya dan Feliks.

Pantauan awak media, Saksi Ahli Hukum Pidana, Dian Adriawan dalam keterangannya menyampaikan, bahwa kalau tidak menyuruh atau meminta untuk menempatkan, menyuruh atau meminta untuk menempatkan keterangan palsu berarti tidak terpenuhi unsur Pasal 266 Ayat 1 KUHP tentang pemalsuan dokumen.

Ketika ditanya oleh Penasehat Hukum terdakwa, apakah boleh JPU memasukkan Pasal yang tidak ada dalam BAP yang sudah diajukan P21 ke Kejaksaan. Saksi Ahli menyatakan bahwa itu tidak boleh atau tidak bisa.

Kemudian saksi yang kedua, yaitu Ahli Kenotariatan, Gunawan menyampaikan, bahwa Notaris tidak boleh membuat akta otentik yang tidak berdasarkan permintaan.

Bila pemohon tidak meminta, atau tidak menyampaikan sesuatu, tapi dibuatkan. Itu dianggap itu bukan akta otentik. Itu adalah surat di bawah tangan. Itu tidak dibenarkan.

Saksi ahli juga mengatakan, bahwa tidak dibenarkan apabila akta sudah jadi, tiba-tiba notaris meminta kepada pemohon untuk menandatangi Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tentang Pengangkatan Kembali Direksi dan Dewan Komisaris, serta Daftar Hadir RUPS, dan itu dianggap cacat hukum.

Kemudian, JPU menghadrikan dua orang Saksi Fakta, yaitu Ery Biyaya dan Feliks. Sebelum diambil sumpah, Majelis Hakim menanyakan saksi yang dihadirkan oleh JPU tersebut apa hubungan saksi dengan terdakwa. Kedua saksi pun menyampaikan bahwa ada hubungan keluarga, yaitu sebagai Kakak Kandung terdakwa yang juga terlibat dalam kepengurusan perusahaan.

Dinilai akan meringankan terdakwa lantaran masih ada ikatan keluarga, Majelis Hakim pun menanyakan kepada JPU apakah akan tetap dilanjutkan keterangan kedua saksi tersebut. JPU sempat menjawab tidak, dan kemudian menjawab dilanjutkan. Penasehat Hukum terdakwa pun tidak keberatan.

Pantauan awak media, kedua saksi menyampaikan bahwa mereka tidak pernah melihat terdakwa memberikan keterangan palsu atau menyuruh memberikan keterangan palsu.

Bahkan ada fakta baru yang menarik, yaitu saksi menunjukan bahwa ada bukti notaris meminta kepada terdakwa untuk menandatangani Berita Acara RUPS tentang Pengangkatan Kembali Direksi dan Dewan Komisaris, serta Daftar Hadir RUPS. Padahal, akta tersebut sudah jadi dan saat itu sudah dilaporkan atau disengketakan di Bareskrim Mabes Polri.

Tim penasihat hukum Leo Handoko, Advokat Dolfie Rompas didampingi Advokat Endang Sri Fhayanti kepada awak media usai persidangan menyampaikan, bahwa sampai saat ini baik dakwaan kesatu yaitu menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Ayat (1) atau dakwaan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP tidak terbukti.

Tim penasihat hukum berpendapat, berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, terbukti tidak ada satupun saksi yang dapat memastikan atau menerangkan perbuatan Leo Handoko memberikan keterangan palsu dalam akta otentik atau tindak pidana penggelapan.

“Semua saksi yang memberikan keterangan tidak pernah menyaksikan, mengalami, melihat atau mendengar perbuatan terdakwa Leo Handoko,” tegas Dolfie.

“Telah terbukti dalam Akta Notaris Ferri Santosa dalam Akta Nomor 17 tanggal 24 Januari 2018 tidak ditemukan peran atau keadaan yang membuktikan bahwa terdakwa sebagai pelaku atau menyuruh melakukan atau turut serta sebagai pelaku tindak pidana,” tegas Dolfie.

Dolfie juga mengatakan, JPU menghadirkan dua saksi, yaitu ahli pidana, dan ahli kenotariatan.

“Keterangan dari Ahli Pidana yang dihadirkan oleh JPU mengatakan, di dalam unsur Pasal 266 tadi disebutkan, kalau tidak menyuruh atau meminta untuk menempatkan keterangan palsu berarti tidak terpenuhi unsur Pasal 266. Itu akan terpenuhi bila ada permintaan untuk menempatkan keterangan palsu pada akta yang dibuat. Tapi kalau tidak ada, berarti tidak terpenuhi. Berarti ini tidak masuk unsur Pasal 266,” jelas Dolfie.

Menurut Dofie, Saksi Ahli Pidana menyampaikan bahwa tidak boleh memasukkan Pasal yang tidak ada dalam BAP.

“Nah, yang aneh kan dalam perkara ini, yang diajukan adalah Pasal 266 Ayat (1) oleh Kepolisian atau Penyidik, dan sudah P21, tiba-tiba di dalam dakwaan muncul Pasal baru yang tidak ada dalam BAP. Memang dari awal kita sudah menyatakan itu. Kalau itu tidak benar. Tidak boleh menambah-nambah Pasal kalau sudah P21, yaitu menambahkan Pasal 378. Ko ini tiba-tiba nongol di dalam dakwaan. Padahal dalam proses penyidikan tidak ada itu. Bahkan sudah P21 pun itu tidak ada. Jadi itu yang jadi catatan dalam sidang hari ini,” tutur Dolfie.

Kemudian, kata Dolfie, saksi yang kedua yaitu Ahli Kenotariatan. Saksi tersebut dalam BAP banyak menjelaskan tentang Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas (PT).

“Makanya tadi saya tanyakan kepada beliau, apakah beliau ahli PT atau ahli Kenotariatan. Dia mengatakan bahwa dia Ahli Kenotariatan. Jadi menurut saya, keterangan yang dia buat di BAP itu tidak singkron dengan keahliannya. Apa yang dia sampaikan dalam BAP itu, khususnya di halaman 40  huruf n itu ada 4 poin atau lima poin itu lebih banyak berbicara PT. Sedangkan dia itu Ahli Kenatoriatan,” jelas Dolfie.

“Saksi ahli mengatakan bahwa tidak boleh Notaris membuat atau membuat akta otentik yang tidak berdasarkan permintaan. Jadi misalkan pemohon ini tidak meminta, atau tidak menyampaikan sesuatu tapi dibuatkan. Nah itu tidak boleh. Dianggap itu bukan akta otentik,” pungkasnya.

“Menurut Aaksi Ahli, itu adalah surat di bawah tangan. Bahkan itu tidak dibenarkan. Saksi Ahli juga mengatakan, tidak boleh juga, apabila sudah jadi, tiba-tiba Notaris meminta kepada pemohon untuk menandatangi Berita Acara RUPS tentang Pengangkatan Kembali Direksi dan Dewan Komisaris, serta Daftar Hadir RUPS. Itu dianggap cacat hukum,” jelasnya.

Dolfie menegaskan, ada dua saksi fakta yang dihadirkan JPU. Kedua saksi menyatakan tidak melihat terdakwa memberikan keterangan palsu atau menyuruh memberikan keterangan palsu, dan saksi-saksi yang lalu juga begitu, tidak ada.

“Tidak ada yang melihat sendiri terdakwa ini meminta kepada Notaris untuk menempatkan suatu keterangan yang tidak benar. Bahkan tadi ada fakta yang menarik, yaitu saksi menunjukan ada bukti bahwa Notaris meminta kepada terdakwa untuk menandatangani Berita Acara RUPS tentang Pengangkatan Kembali Direksi dan Dewan Komisaris, serta Daftar Hadir RUPS. Nah ini jadi pernyataan. Bagaimana Notaris bisa membuat akta otentik tidak didasari oleh persyaratan atau dokumen-dokumen yang seharusnya. Berarti Notaris membuat sendiri. Artinya, Notaris membuat akta tapi tidak memenuhi syarat. Seharusnya kan ditolak, kalau tidak lengkap surat-suratnya, dan kenapa dibuatkan akta tersebut,” tuturnya.

Menariknya lagi, kata Dolfie, permintaan itu dilakukan saat sudah dilaporkan, dan sudah dalam proses Kepolisian. Seharusnya, kata Dolfie, berita acara itu dibuat sebelum akta itu dibuat.

“Nah itu kami tanyakan kepada Saksi Ahli yang dihadirkan JPU yang menyatakan itu tidak benar. Bahkan ada beberapa bukti juga surat yang dibawa oleh saksi tadi yang menunjukkan bahwa akta yang disengketakan ini juga digunakan oleh pemegang saham yang lain (pelapor-red), dan semua bukti-bukti itu, tadi sudah diserahkan kepada Majelis Hakim,” pungkasnya.

“Ini sangat menarik menurut kami. Jadi sampai saat ini, kami kuasa hukum dari pada terdakwa Leo Handoko melihat bahwa belum ada satu kesaksian pun yang bisa membuktikan bahwa terdakwa melakukan apa yang dituduhkan terhadap beliau,” tegasnya.

“Kalau memang ada saksi lain yang katanya tadi JPU akan menghadirkan Notaris sebagai saksi kunci, ya kita akan lihat nanti keterangannya. Kami juga megingatkan kepada saksi, hati-hati jangan sampai ada keterangan yang tidak benar, karena ini ada ancaman pidananya, memberikan keterangan yang tidak benar. Kami berharap untuk saksi berikutnya semoga keterangannya benar-benar keterangan yang berdasarkan fakta,” tutupnya.

Terpisah, salah satu saksi fakta yang dihadrikan JPU, Ery Biyaya mengatakan, bahwa akta Nomor 17 Tahun 2018 yang disengketakan tersebut pernah dipakai Komisaris Utama PT Kahayan Karyacon Mimihetty Layani (pelapor-red) untuk keperluan surat menyurat kepada para Direksi, dan mengajukan permohonan pemanggilan RUPS kepada Pengadilan, dan semua itu memposisikan diri sebagai Komisaris Utama.

Kata Ery, Komisaris Christeven Margonoto juga menggunakan akta nomor 17 tentang pengangkatan kembali susunan pengurus perseroan, yang dibuat dihadapan Ferri Santosa Notaris di Kabupaten Serang, untuk memberi surat kuasa kepada Legal Corporate yang bernama Lisa P. Pongki dan Christy D. Wingkar dengan memposisikan sebagai Komisaris.

“Jadi saya juga aneh. Karena akta yang dipermasalahkan itu sudah pernah dipakai oleh Komisaris Utama dan Komisaris, dengan memposisikan diri sebagai Komisaris Utama dan Komisaris. Sedangkan akta Nomor 1 Tahun 2012 itu berakhir di Tahun 2017. Sedangkan pada Tahun 2018 dan 2019, selalu memposisikan diri sebagai Komisaris Utama dan Komisaris. Jadi jabatan itu dapat dari mana kalau tidak memakai akta No. 17 Tahun 2018 itu yang justru dipermasalahkan sama mereka sendiri. Benar-benar aneh bin ajaib kasus ini,” pungkasnya.

Ery juga mengatakan, pada saat Notaris Ferri Santosa diperiksa di Bareskrim, sempat meminta tolong kepada Leo Handoko untuk menandatangani Berita Acara RUPS dan Notulen Rapat pada bulan Agustus 2020 melalui chat WA.

“Sedangkan akta itu sudah jadi pada tanggal 24 Januari 2018,” tutupnya.

Terkait penambahan Pasal dakwaan, JPU Budi Atmoko kepada awak media mengatakan, pihaknya memiliki aturan internal sendiri walau pun saksi ahli menyatakan tidak boleh ada penambahan Pasal dalam dakwaan.

“Kita juga ada pemeriksaan sendiri. Maksudnya ada aturan internal sendiri, bahwa dari aturan Kejaksaan masih ditelaah. Itu diperolehkan atau tidak walau pun memang ahli pidana menyatakan tidak boleh, tapi kita juga harus melihat segala aspek aturan hukum, termasuk aturan SOP kami sendiri,” pungkasnya.

Seperti diketahui, PT Kahayan Karyacon yang didirikan pada tahun 2012 merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi bata ringan (hebel).

Dalam perjalanannya, perusahaan yang berlokasi di Jawilan, Cikande, Kabupaten Serang, Banten, didera konflik internal.

Dalam kisruh yang terjadi, Komisaris Utama PT Kahayan Karyacon, Mimihetty Layani melalui kuasa hukumnya yang bernama Niko melayangkan Laporan Polisi (LP) terhadap salah satu Direktur PT Kahayan Karyacon ke Bareskrim Polri.

Leo Handoko, salah satu Direktur PT Kahayan Karyacon dianggap melakukan pemalsuan dokumen dan memberikan keterangan palsu ke dalam bukti otentik (Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP) ke bukti otentik dalam akta No. 17 tanggal 24 Januari 2018, tentang pengangkatan kembali Organ Perseroan Terbatas (PT) yang dibuat oleh Leo Handoko.

Padahal, dalam pembuatan seluruh akta perusahaan, dari awal tidak pernah dihadiri oleh para Dewan Komisaris dan Direksi.

Selain itu, pembuatan akta di hadapan Notaris juga tidak pernah dihadiri oleh Komisaris dan disertai Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Tinggalkan Balasan